Ketika malam hendak melata ke dinihari. Sepi. Hening. Seung’ue. Senyap. Saat itulah partikel-partikel bunyi dalam wujud kata keluar sayup-sayup dari kisi-kisi jendela sebuah rumah:
“Istriku yang super…,” bisik suami sembari mata menatap langit-langit kamar tidur.
“Ya, suamiku yang yang super…,” jawab sang istri dengan nada yang sama dan tatapan mata yang searah.
“Maaf jika aku bertanya soal ini. Jangan tersinggung, apalagi emosi. Tetapi, jika bisa, jawablah apa adanya. Apakah anak kita benar-benar anakku?”
“Secara hukum, ya. Secara hukum, ini anakmu yang sah dunia-akhirat. Secara hukum, kau wajib bertanggungjawab terhadapnya sakit atau sehat kendati kau sedang berada di seberang benua. Secara hukum kau wajib membiayai hidupnya sampai dewasa. Secara hukum, kau akan kutuntut di Pengadilan bila menelantarkan dia.”
“Secara biologis?”
“Ini bukan dunia binatang di mana setiap anak ditandai berdasarkan bibit. Ini dunia manusia di mana legitimasi-hak dan konsekwensi-kewajiban seorang ayah terhadap anak adalah berdasarkan hukum. Bukan siapa pemilik cairan sperma, karena cairan jenis ini melimpah gratis di WC-WC terminal bus. Dalam sebuah perkawinan, DNA anak adalah persoalan kesetiaan, bukan persoalan hukum yang dapat membuat seorang ayah menentukan sikap perwalian,” jawab sang istri yang kebetulan tamatan S-1 Hukum itu.
“Maafkan kekhilafan pikiranku, istriku yang super.”
“Ya Allah. Ya, Rasul. Suamiku yang super, kau benar-benar followers setia Mario Teguh. Tanpa kau sadari kau telah menjadi anak-haram-spiritual Sang Motivator itu. Kenapa sih orang Indonesia suka mabuk dengan argumentasi-argumentasi nalar palsu? Makanya negeri kita lambat maju, ya. Unfollow Mario! Atau kita cerai!”
“Haaa?!”
naceh.com

0 comments:
Post a Comment