kebahagiaan dicari oleh semua orang. Sayang, banyak orang salah saat mencari sumbernya.
Pernah membaca Geography of Bliss? Buku best seller yang ditulis jurnalis New York Times, Eric Weiner, inimengungkap kisah perjalanannya mengunjungi beberapa negara untuk mencari jawaban dari satu pertanyaan:negara manakah yang paling bahagia di dunia?
Pencarian Eric tentang kebahagiaan tentunya juga pencarian kita semua. Berbagai cara kita lakukan agar sebentuk rasa bahagia itu bersemayam dalam hati kita. Tak sedikit rupiah kita gelontorkan demi memperolehkesenangan, yang menurut kita akan mendatangkan bahagia. Tapi saat kesenangan fisik itu hilang, kita tersadar bahwa kebahagiaan ternyata belum kita dapatkan.
Hanya Simbolis
Kebahagiaan memang kerap disalahartikan sebagai kesenangan fisik semata. Tanpa sadar, kita sebenarnya malah sedang terseret oleh derasnya arus nafsu yang dikanalisasi industri dan pasar sehingga membuat kita menjadi konsumtif. “Industri, kan, butuh konsumen. Konsumen umat Islam itu ada beragam, maka dia dari sisi suplai harus bisa menyediakan kebutuhan beragam komunitas itu,” jelas Abdi Rahmat, pengajar sosiologi di Universitas Negeri Jakarta.
Bukan hanya pada orang-orang yang jauh dari agama, perilaku konsumtif pun sering melanda orang-orang yang tergolong religius. Religiositas lemah, kadang masih bisa terhanyut pada konsumerisme, mengakibatkan praktik keberagamaan yang dilakoni hanya sekadar simbol. “Implikasi negatifnya, agama jadi artifisial, cuma di permukaan. Berhijab cuma gaya; berhaji, tapi demi prestise; ramai-ramai Ramadhan, konteksnya bukan beribadah tapi ikut tren Ramadhan. Jadi, agama kehilangan kedalaman makna,” papar Abdi lagi. Bagaimana mungkin kita bahagia jika keberagamaan kita tak lagi punya makna?
Kita lupa pada peringatan Allah swt, “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui akibat perbuatanmu itu,” (QS At Takatsur [102]: 1-3). Agaknya kita juga alpa bahwa sebagian akibat dari bermegah-megahan itu langsung kita rasakan di dunia.“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta,” (QS Thaha [20]:123).
Jelaslah, bahagia tidak pernah tentang materi. Ia tidak pernah berasal dari luar diri kita. Bahagia justru berasal dari diri kita sendiri, yaitu dengan menghidupkan sifat qana'ah. Qana'ah adalah sikap yang selalu merasa cukup pada apa yang Allah berikan untuk kita.
Bagaimana agar sifat qana'ah itu bisa kita dapatkan? Ustadz Farid Nu'man, SS menuturkan bahwa qana’ah buah dari zuhud.
“Zuhud itu, terhadap dunia tidak terlalu ‘gila’. Nabi bilang, zuhudlah kamu terhadap dunia, niscaya Allah cinta kamu; dan zuhudlah kamuterhadap harta yang dipegang manusia, niscaya manusia akan mencintaimu.”
Tapi di zaman yang semakin modern ini, sikap zuhud sepertinya semakin asing. Ia kerap diidentikkan dengan citra miskin dan terbelakang. Karena zuhud ditinggalkan, rasa qana'ah pun pudar. Pudarnya rasa qana'ah akan melahirkan berbagai efek turunan, di antaranya sulit bersyukur pada apa yang dia miliki. Sebanyak apa pun rezeki yang Allah berikan kepadanya akan selalu dirasa kurang. Bila ini terjadi pada konteks hubungan suami-istri bisa berakibat fatal. Istri tidak pernah merasa puas pada rizki yang diberikan oleh suami, akhirnya suami dituntut untuk melakukan berbagai cara agar bisa mendapatkan harta lebih banyak, termasuk dengan cara-cara yang tidak halal. Ini tentu akan mencabut keberkahan keluarga itu.
Pudarnya qana'ah juga bisa membuat munculnya rasa iri dan dengki pada diri seseorang. Ia selalu merasa tidak senang ketika orang lain mendapatkan rezeki yang lebih dari apa yang dia miliki. Di tingkat yang paling parah, hilangnya rasa qana'ah bisa membuat seseorang membenci Tuhan, karena ia merasa Allah tidak adil padanya.
Harmoni dengan Qana'ah
Betapa terpedayanya kita, susah payah banting tulang mencari harta dengan harapan harta itu akan membawanya pada kebahagiaan. Saat keinginannya tidak tercapai, ia kembali membanting-tulang lebih keras hingga melupakan hubungannya dengan Allah. Padahal, dalam Islam, untuk menjadi bahagia itu sangat sederhana, hendaklah ia qana'ah, merasa cukup pada apa yang Allah beri dari hasil usahanya.
Sesungguhnya, qana'ah itu sendiri akan memberikan banyak kebaikan pada pengamalnya. Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA dalam satu ceramahnya mengungkap, di antara manfaat qana'ah adalah tidak mudah tergiur untuk memiliki harta yang dimiliki orang lain. Allah swt berfirman, “(Orang lain)–yang tidak tahu–menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya, karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (wahai Muhammad), mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta dengan cara mendesak kepada orang lain,” (QS Al Baqarah [2]: 273). Sifat iri adalah salah satu penyakit yang bisa membuat rusaknya hubungan silaturahim. Bila kita berusaha untuk menghilangkan sifat itu, hubungan silaturahim dan kehidupan sosial pun akan lebih harmonis.
Kedua, menurut pengasuh pesantren Tunas Ilmu, Purbalingga ini, buah qana'ah yang lain adalah menempa jiwa seseorang untuk tidak mengadu tentang kesusahan hidupnya melainkan hanya kepada Allah Yang Mahakaya. Seperti sikap Nabi Ya'qub as yang Allah abadikan dalam Al-Qur'an, “Dia (Ya’qub) berkata, ‘Hanya kepada Allah, aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku,’” (QS Yusuf [10]: 86).
0 comments:
Post a Comment