Sunday, January 17, 2016

Sabar, Kunci Pembuka Kasih Sayang Allah (bag-2)

Sabar, Kunci Pembuka Kasih Sayang Allah (bag-2)



SETELAH berpamitan, Ahmad dan Pak Ram pulang. kini Ahmad sudah mengetahui semua kondisi ini. Ya, tinggal apakah si Ahmad memilih untuk tidak bersabar atau menebal kesabaran dengan banyak-banyak mengingat bahwa ada orang yang lebih menderita dari pada dirinya. Karena, setiap manusia diuji dengan berbagai lapis kemampuannya. Besarnya ujian berarti segitulah kemampuan yang ada untuk diatasi.

“Allah tidak membebani seseorang diluar kemampuan”.

Allah bicara sendiri didalam Al-Qur’an. Ayat yang tidak bisa dipungkiri. Namun manusia bisa saja tidak paham hakekat ujian itu. Atau malah justru terbalik dalam memaknai kesabaran.

“Ibu mau dagang susu kedelei dulu, jaga adek-adekmu ya.”

Pesan ibu Ahmad sebelum pergi kerja. Wajahnya menunjukkan ketegaran. Ia harus tetap menjalani ini. Saat ibu-ibu sibuk dengan menonton gosip-gosip di televisi, ibu Ahmad berjuang mencari uang. Setelah bapak Ahmad dipenjara, tidak ada lagi penopang atau tulang punggung keluarga. Itulah satu-satunya cara untuk menghidupi keluarga. Minimal untuk mendapat sesuap nasi dan meneruskan hidup.

Ahmad menjaga adik-adiknya dirumah. Memang sudah ada yang sekolah. Tapi ada adek bungsu yang perlu diurusnya hingga ibunya kembali dari kerja.

Selang beberapa hari ahmad disuruh membantu di toko pamannya di pasar bekasi. ia membantu apa saja untuk sekedar meringankan beban orang tua. Dan sepulang dari kerja, ia juga mengajar anak-anak TPA yang tak jauh dari rumah Ahmad. Ia ditemani dengan salah seorang temannya. Fahim namanya. Ia seorang perantauan. Di Bekasi ia hanya bekerja dan mengajar anak TPA. Ahmad pun banyak menumpahkan berbagai curhatan kepada fahim. Jika terasa suntuk dirumah, terkadang si Ahmad bermain di tempat fahim, yang tinggalnya di sebuah mushalla kecil. Telepon berdering dari HP Ahmad. Nomornya asing.

“Assalamu alaikum, mas Ahmad, sekarang dimana, kok udah gak ada kabar?” suara telpon terdengar nyaring. Ahmad sedikit kaget. Iya, dia mengenali suara itu. dua bulan lewat dia masih kenal dengan suara itu.
“Udah gak balik lagi mas? kalo memang gak balik lagi, minimal kabari saya lah, gak harus seperti ini”. Lanjutnya dalam telpon.

“Maaf pak, saya ada masalah keluarga dirumah. Jadi gak bisa kesana dulu. Dan mungkin saya akan mungundurkan diri dari tugas. Karena ada keluarga yang gak bisa ditinggal”. Seru Ahmad.

Senyuman pahitnya tertahan. Ia harus mengatasi masalah ini. Sebab waktu ia disuruh pulang oleh pamannya, ia sama sekali belum izin dengan pihak petanggung jawab di jakarta. Makanya penanggung jawa itu menelponnya meminta kejelasan karena ketiadaannya ditempat tugas yang hampir dua bulan lebih.

Esoknya Ahmad izin kepada pamannya untuk pergi ke Jakarta sekaligus berpamitan dan mengambil semua barang yang tersisa dan tertinggal ditempat tugas. Dan setelah itu juga ia kepesantren agar dipindah tugaskannya di kampung halamannya sendiri. dengan alasan ada keluarga yang tidak bisa ditinggal.

“Maaf ustadz, saya minta ditugaskan di rumah sendiri. Dan ini bukan permintaan saya. Ini permintaan keluarga.” Kata Ahmad memohon kepada kepala sekolah dimana Ahmad menamatkan Aliyah disana.

“Ya, saya sudah tahu masalah kamu dan bagaimana keluarga kamu dirumah. Bagaimanapun saya tidak bisa melarang Ahmad untuk mengurusi keluarga. Ahmad dengan kondisi sekarang ini harus sabar menghadapi musibah ini. Tidak ada yang mengharapkan musibah itu datang. Namun ada harapan sebuah kebahagiaan jika kita mengatasi ujian itu dengan sabar”. Kata kepala sekolah menasehati Ahmad.

“Dan saya rasa kamu sudah paham dalam masalah sabar. Hanya mempraktekkannya saja.”. Katanya lagi dengan senyumnya yang tulus.

Setelah itu si Ahmad diminta membuat surat tugas dari sekretaris pesantren. Adanya surat itu agar nantinya diberikan kepada penanggung jawab dimana Ahmad ditugaskan. Bisa dibilang surat itu adalah sebuah izin bertugas kesebuah tempat.

Secercah cahaya masuk lagi kehatinya. Sebuah nasehat tulus, yang keluar dari pimpinan sekolahnya dulu. Saat menasehati Ahmad, ustadz itu sedang terbaring lemas. Baru sehari sebelumnya ia mendapat musibah. Motor yang dikendarainya terjatuh. Akhirnya kakinya patah, dan terdapat luka-luka kecil pada tangan dan sebagian wajahnya.

Memang tidak ada yang berharap menemui musibah. Tapi kita pun tidak dapat menghindarinya jika ketetapan telah diberikan. Hanya sabar sebagai penopang terbaik yang mampu membuat bibir ini tersenyum, tubuh ini menjadi tegar, dan raut muka berseri walaupun hati masih terluka. Dengan kekuatan inilah seorang Ayyub diberi kemuliaan sebagai salah satu Ulul azmi karena tingkat kesabarannya yang besar. Begitu juga Nabi Akhir zaman, sebagai penyampai amanah titah mulia, yang berjuang demi tersebarnya Islam dimuka bumi. Islam yang kita rasakan hari ini adalah buah salah satu kesabaran beliau.

Hari itu, dan hari-hari setelahnya, Ahmad meringankan beban keluarganya. Biarlah kejadian itu berlalu. Namun ia tidak berpaling dari pelajaran dan hikmah apa yang dialami bapaknya. Ia merasa perjuangan itu bermula dari sini. Setelah sebelumnya ia hidup didunia pesantren yang terisolasi dengan dunia luar dan kurang dengan informasi terbaru. Namun dari saat itu, ia baru melangkah ketitik yang mungkin saja mengantarkan dirinya kepada hamparan Ridho-Nya.

Ia hanya minta satu hal disetiap sholatnya. Minta diberikan berlapis-lapis kesabaran. Walau tidak seperti kesabaran ulul azmi, tapi minimal ada jalan usaha yang telah ia tapaki demi meraihnya. Dan terkadang ia menghibur diri. Dengan memandang orang yang lebih sengsara dari pada dirinya. Tetap ada. Dan musibah yang dialami Ahmad bahkan hanya salah satu warna warni kehidupan yang menghiasi taman sejarah.

Kesabaran adalah salah satu kunci, kunci untuk membuka pintu kasih sayang-Nya. (tamat)

sumber: islampos.com

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Sabar, Kunci Pembuka Kasih Sayang Allah (bag-2)

0 comments:

Post a Comment