Friday, January 15, 2016

Sabar, Kunci Pembuka Kasih Sayang Allah

Sabar, Kunci Pembuka Kasih Sayang Allah (Bag. 1)



“KEBETULAN kalo kamu ada disitu. Besok kamu pulang ya, ada urusan dirumah”.

Tanda tanya menggunung dipikiran Ahmad. Sebuah informasi penting dan sangat singkat datang dari pamannya. Padahal jarang sekali pamannya itu menelpon dirinya. Bahkan hampir tidak pernah. Saat itu Ahmad baru sehari main ditempat temannya di Depok. Ia baru memasuki 3 bulan tugas dari pesantren.

Peraturan dari pesantren tidak bisa diganggu gugat memang. Setelah siswa aliyah yang telah selesai, mereka wajib untuk tugas setahun. Tempatnya dipilih oleh Ustadz. Saat itu Ahmad ditugaskan di jakarta, Lebak Bulus tepatnya.

Malam yang seharusnya ceria bersama teman satu tugas, menceritakan pahit manis bagaimana tugas di sana, namun berubah semua. Informasi dadakan dari paman di kampung penuh dengan tanda tanya. Ahmad terus penasaran apa di balik perintah paman itu untuk pulang kekampungnya.

Padahal 3 bulan yang lalu, Ahmad pulang kekampungnya saat lebaran. Besok dia harus kembali kekampungnya dengan membawa segudang tanda tanya. Ada apa di balik perintah pulang itu. Di pagi hari Ahmad harus segera pulang memenuhi panggilan pamannya.

“Ni Ahmad udah pulang.” Kata mang Dadan setelah melihat Ahmad mucul di depan toko dimana mang dadan kerja. Ia masih saudara dengan Ahmad. Ia kerja menunggu toko bangunan di Pasar Bekasi. Ahmad langsung diantar kerumahnya oleh mang Dadan yang berjarak dua kilo dari pasar.

Sesampainya di depan rumah, Ahmad melangkahkan kaki dengan terus berpikiran sama dengan pertama kali mendapat kabar dari pamannya. Rumahnya seakan tak ada yang berubah dari 3 bulan yang lalu. Sama. Langkahnya gontai memasuki daun pintu sambil menjawab salam. Terdengar dari dalam, suara lirih, memaksa menjawab salam Ahmad.

Tanpa menaruh dulu tas yang ada di punggungnya, ia langsung menuju sumber suara itu berasal. Sesosok wanita yang sedang berada didapur, duduk memasak nasi dengan kayu.

“Sabar ya Mad, ya, sabar.” Lirihnya menghibur Ahmad. Raut wajahnya yang sayu seakan menahan gelombang ombak ujian. Ahmad semakin dibuat penasaran. Dia sama sekali belum tahu apa dibalik ini semua. Seakan Ahmad sudah tahu masalah ini sejak awal. Padahal justru dari kemarin sampai saat itu pertanyaan yang menggunung masih saja bertengger di pikirannya.

“Kenapa sih, bu?, kok sabar, emang ada apa, Ahmad gak tau!” Dengusnya. Ia sedikit kesal karena belum menemukan benang merah dari kejadian aneh ini. Ia ambil langkah menuju kamar depan untuk menaruh tas yang dari tadi menempel dipunggungnya. Kamar kecil itu sedikit berantakan.

Setelah shalat ashar, Ahmad dipanggil oleh pak Tomo yang tidak lain adalah pamannya yang menyuruhnya untuk pulang.

“Sudah tahu kan kabarnya, Mad?”. Tanya pak Tomo dengan duduk santai bersilah dilantai masjid. Raut wajahnya memiliki jawaban yang akan memutus benar merah si Ahmad. Mungkin dikira si Ahmad, keponakannya ini sudah tahu kabar ini. Ia tanya lagi supaya yakin atas tebakannya.

“Memang kenapa pak, saya gak tahu masalah ini, apa sebabnya saya disuruh pulang?” Ahmad senyum pahit. Terus diselubungi pertanyaan, yang sepertinya sedikit mulai terbuka tabir rahasia itu.

“Gini Ahmad, bapak kamu….. dipenjara, sekarang ada dilapas Cikarang”. Kata Pak Tomo berat, terbata-bata. Ia harus memberitahu kan ini. Karena Ahmad adalah satu-satunya anak yang paham agama, dan telah menyelesaikan sekolahnya dari pada adik-adiknya yang lain.

Ahmad nampak kaget. Ia tak menyangka, bapaknya yang selama ini mengantarkan uang bulanan dia saat sekolah di pesantren dulu, kini harus mendekam d ijeruji besi.

Ia menyembunyikan rasa kaget itu dengan diam. Tapi tatapannya sedikit kosong. Ia harus mengeksperikannya dengan bagaimana lagi. Ia tak tahu. Sudah sekian lama dia memliki ekspresi seperti itu. Namun, ini sebagai puncaknya dari ekspresi. Hanya saja ia memendam dalam-dalam agar orang lain, termasuk pamannya, agar tidak melihat.

“Nanti kamu diantar sama mas Ram ke polsek Cikarang. Sekalian bawa dua kresek jajan-jajan, ya.” Kata pak Tomo mengingatkan Ahmad. Ia segera undur diri dari hadapan Ahmad yang masih terpaku atas kabar itu.

Ahmad serasa mimpi di siang bolong. Dan tak sadar sepenuhnya bahwa yang dialami hari itu adalah kenyataan. Namun dari lubuknya yang paling dalam seberkas cahaya menyadarkannya. Iya. Ini memang ujian. Bentangan kasih sayang-Nya tak selalu diberikan dengan banyaknya akan nikmat dan kebahagiaan.

Namun dicoba dengan ujian pahit dalam menjalani hidup. Ia cukup paham dalam masalah ini. Bahkan secara teori sudah memakan banyak bangku pesantren dalam memahami makna sabar dan hakekatnya. Namun, terkadang fakta bicara lain. Saat terjadi musibah, di situlah teori diuji coba. Apakah dia bisa mengaplikasikannya dari teori itu, atau hanya sekedar teori saja?

Ahmad sedang berjuang, menata hati untuk menjalani kesabaran yang bukan hanya pada teorinya saja yang telah lama ia pelajari dipesantren dulu. Tapi lebih dari sekedar kenyataan hidup.

Tak memakan satu jam, akhirnya Ahmad dan pak Ram sampai dipolsek Cikarang. Alangkah kagetnya saat seorang yang selalu mengurusnya, baik dari administrasi, rutin menengok di pesantren, kini sudah berada di balik jeruji besi.

“Kenapa….ba..pak bisa..gini?” suara Ahmad tertahan ditenggorokan. Tak sempurna mengeluarkan semua kalimat dari mulutnya. Ia tersekat atas pemandangan yang serasa tak mungkin ia alami. Namun, lagi-lagi ini adalah kenyataan.

Ada polisi datang dan memberi tahu Ahmad dan pak Ram, bahwa bapaknya terjerat penipuan jual beli. Dia diciduk saat setelah lebaran idhul adha. Ya, waktu itu Ahmad sedang dalam tugas pesantren. Menikmati lebaran idhul adha di kampung orang. Namun ada beberapa malam disaat tugas, ia memiliki perasaan yang aneh. Ada kehampaan marasuk jiwanya. Entah ini sebagai naluri seorang anak kebapaknya atau sekedar perasaan yang lewat. Tapi, perasaan itu terpecahkan saat si Ahmad disuruh untuk pulang kampung, dan benar-benar kejadian diluar pikiran Ahmad. Bapaknya dipenjara.

“Jaga umi dirumah ya mat, urus adik-adikmu, jangan sampe kluyuran kalo maen, nasehatin mereka semua”. Pesan terakhir bapak Ahmad dengan memegang jeruji besi. Pak Ram tak jauh dari situ memperhatikan nasehat bapak Ahmad ke anaknya. Hanya terdapat satu penjara saja. Namun ruangnya besar. Disitulah ayah Ahmad mendekam dengan satu temannya lagi. Pengap, bau, gelap dan sunyi, mungkin itulah yang dirasakan bapak Ahmad.

“Ram, bilang ke pak Jan, tolong kalau bisa tebus saya dari penjara. karna Kalo saya udah dipindahin kepenjara yang besar, disana lebih ngeri, saya gak mau kesana”. Mohon bapak Ahmad ke pak Ram. Dia tidak mau berlama-lama dipenjara. Dan ingin segera keluar. Memang bisa ada penebusan untuk dkeluarkan sebelum dipindahkan kepenjara yang lebih besar. Dan disana nanti akan bercampur dengan napi-napi dengan berbagai macam kasus kejahatan mereka. jelas bapak Ahmad tak mau bertemu mereka.

BERSAMBUNG....
Sumber : Islampos.com

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Sabar, Kunci Pembuka Kasih Sayang Allah

0 comments:

Post a Comment